KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR – Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena menegaskan bahwa rekrutmen direksi dan komisaris Bank NTT kali ini terbuka lebar bagi siapa pun, baik dari dalam maupun luar daerah. Ia bahkan memperpanjang masa pendaftaran hingga 7 Mei untuk memberikan ruang lebih luas.
“Ini bukan proses biasa. Kita ingin akhiri era jabatan karena titipan. Kita ingin profesional, bukan tim sukses,” kata Melki di Kantor Gubernur, Senin (5/5/2025).
Pernyataan ini keluar hanya sepekan setelah ia menyampaikan kritik tajam terhadap lima BUMD milik Pemprov NTT dalam RDP bersama Komisi II DPR RI. Di hadapan para anggota dewan, ia menyebut dividen Bank NTT sangat kecil dibanding aset yang dikelola. Ia menuding praktik kompromi jabatan sebagai biang keladi rendahnya kinerja bank tersebut.
Bank NTT selama ini mengelola aset bernilai triliunan rupiah. Namun, dividen yang disetorkan ke kas daerah masih dianggap minim. Gubernur Melki menyebutkan bahwa kondisi ini tidak sebanding dengan potensi besar yang dimiliki.
“Saya lihat dividen kecil karena terlalu banyak akomodasi. Titipan-titipan dari elite politik lokal masih merajalela,” ujarnya blak-blakan.
Transformasi Menuju Bank Daerah Modern
Langkah bersih-bersih ini dilakukan bersama dukungan para bupati dan wali kota se-NTT. Gubernur Melki berharap Bank NTT bisa keluar dari bayang-bayang politik praktis dan mulai menatap masa depan sebagai lembaga keuangan yang modern dan kompetitif.
“Kita perlu Bank NTT yang bersaing dengan BPD besar lain seperti Bank Jatim dan Bank Jabar-Banten. Sudah saatnya diserahkan ke tangan profesional. Pemerintah cukup terima dividen, jangan ikut mengatur dapur,” tegasnya.
Ia juga memastikan akan memantau ketat proses seleksi direksi agar tidak kembali jadi ajang bagi kompromi dan kepentingan kelompok tertentu.
RUPS, Titik Balik atau Sekadar Formalitas?
RUPS kali ini dipandang publik sebagai momentum emas bagi reformasi Bank NTT. Jika komitmen Gubernur Melki dijalankan konsisten, maka ini bisa jadi titik balik menuju tata kelola BUMD yang sehat dan berdaya saing.
Namun, jika semua hanya jadi seremonial, maka publik hanya akan menyaksikan episode lama dengan wajah baru. Janji perubahan bisa berujung pada pelestarian sistem lama yang stagnan.
Gubernur Melki kini berdiri di titik krusial. Jika reformasi ini berhasil, ia akan dikenang sebagai pemimpin yang berani memutus lingkaran nyaman para elite. Jika gagal, publik tak akan lupa bahwa ia pernah membuka peluang besar – namun membiarkannya dimanfaatkan oleh orang-orang yang sama. ***